AKU HAMPIR BUTA masih adakah mujizat itu?

Tuesday, May 10, 2011

Aku melangkah pelan meninggalkan kamarku setelah mengganti seragam putih biruku. Aku berjalan memasuki ruang dapur untuk menemui ibuku.
“Ma…” ucapku pelan dengan suara parau akibat semalam menangisn ketika mendapatkan posisi duduk yang tepat disamping ibuku.
“Ada apa sayang?” tanya ibuku dengan kelembutannya sambil tersenyum manis.


Wajahnya yang penuh kerutan tanpa polesan apa-apa tak sedikit pun mengurangi 
kecantikannya membuatku selalu mengaguminya.
Ibu yang sudah dimakan waktu. Ibu yang  sudah banyak makan asam garamnya hidup ini. Ibu yang selalu tegar bak pantai yang selalu siap menghadapi hamparan ombak keras yang tiada hentinya. Tapi bibir pantai itu tak pernah protes. Dia selalu diam dan menerima saja. Demikianlah ibuku. Sekeras apa pun yang dialaminya dalam hidup ini dia selalu pasrah. Katanya, orang yang ikhlas pasti pasrah dengan apa pun yang dialaminya.
“Aku sudah tidak bisa melihat huruf yang ditulis sama Pak Guru di papan tulis lagi, bu.”
Akhirnya kalimat itu keluar juga dari bibir mungilku setelah bertahun-tahun kupendam. Kupendam agar tidak menjadi beban ibuku yang janda. Kupendam karena aku tahu ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Kupendam karena aku mengerti ibu sudah terlalu tua hanya untuk mengurusi hal yang sepele. Bukankah aku sudah menjadi seorang gadis manis. Bukan anak kecil lagi. Bukan anak kecil yang masih harus dilap ingusnya. Tapi aku harus mengatakan kepada ibu tentang mataku. Aku sudah tidak tahu harus mengatakan kepada siapa lagi.
Sejenak ibu menghentikan aktifitasnya menyakan tungku untuk menanak nasi buat makan malam kami berdua.
Ibu meneteskan air mata. Ini yang aku tidak ingin lihat selama ini. Inilah alasan kenapa aku tidak pernah bercerita kepada ibu tentang keadaanku. Tentang keadaan mataku yang telah rabun bertahun-tahun. Aku bersyukur memiliki otak yang cemerlang sehingga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahku.
Diam. Hening. Pikiranku dan ibu melayang jauh ke sana. Ke suatu tempat yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Ke ruang-ruang sempit yang mengurung sosok ayahku. Tapi ruang itu telah kosong setelah ayah pergi dan entah siapa kini yang menempati dan menggantikan posisinya sekarang.
Dulu, ketika ayah masih ada. Ketika masih jaya. Ketika tuduhan itu belum timbul. Kami bertiga bahagia dengan hidup yang berkecukupan. Ayah hanya seorang pegawai biasa di salah satu kantor swasta. Aku sendiri tidak tahu persis, kantor apa itu karena waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengerti tentang pekerjaan ayahku. Kalau aku tidak salah ingat, ayah bekerja dibidang pajak.
Ayahku yang baik harus mendekam di penjara atas tuduhan korupsi. KORUPSI!!! Sebuah kata yang tidak asing lagi di tanah air ini. Tapi aku percaya, ayah tidak pernah melakukannya. Tidak mungkin dia tega melihat kami makan hasil uang haram.
“Ini fitnah. Aku tidak pernah melakukannya. Aku hanya korban agar atasanku bisa bebas. Aku hanya tumbal kerakusan manusia. Aku hanya sesajen bagi mereka yang berduit agar tidak terjerat hukum.” Itu yang ayahku pernah katakan kepada ibuku. Dan ibuku percaya. Sangat percaya dengan suami yang pernah mendampingginya. Suami yang tidak pernah meninggalkan ajaran agamanya. Suami yang menjadi teladan bagi banyak orang.
Namun sebelum ayah dibebaskan dari hukumannya. Ayah meninggal di tahanan karena asmanya kambuh dan tak tertolong. Ah…Bukan rahasia lagi kalau banyak yang meninggal di bui karena kurang terurus.  Perlahan namun pasti harta sisa warisan ayah habis untuk kami makan sehari-hari. Ibu hanya seorang tukang cuci. Itu pun kalau ada yang membutuhkan jasanya. Jasa ibu sudah kurang diminati lagi karena tenaganya sudah terkubur oleh ubannya yang menguasai kepalanya. Orang-orang lebih memilih yang masih muda karena masih gesit dan bertenaga.
Aku menghampiri ibu. Lalu kami berpelukan. Kami menangis… Dua wanita menangis atas ketidak adilan yang kami alami. Hanya yang pernah merasakan yang tahu persis perasaanku dan ibu.
“Sabar ya sayang. Nanti kamu pasti punya kaca mata.”
Aku memendam pertanyanku jauh di lubuk hatiku. “Kapan bu?”
Biarkan aku yang bertanya pada Yang Maha kuasa. AKu percaya Tuhan tidak akan membiarkan aku buta. Aku percaya Tuhan akan memberikan aku kado berupa kaca mata. Yang murah juga ngga apa-apa. Asal aku bisa melihat barisan-barisan hurug di papan tulis. Tapi kalau pun Tuhan tidak memberikan aku sebuah kaca mata yang aku inginkan. Dia pasti akan memberikanku kado yang lebih besar lagi. Kado bernama mujizat.
“Minus kamu dua belas, nak. Kamu harus cepat-cepat pakai kaca mata biar tidak tambah parah.”
Aku tahu kalau mata manusia hanya bisa tertolong oleh kaca mata sampai minus sembilan belas. Itu yang aku tahu dari pelajaran biologi.
Ah… Ibu pernah bilang mujizat yang besar hanya akan terjadi saat kita menghadapi persoalan yang besar juga. Aku tidak perduli dengan angka-angka yang disodorkan oleh dokter. Toh, tidak ada yang mustahil jika kita percaya.
Aku si anak miskin hanya bisa berharap mujizat ketika begitu banyak orang berduit yang mengoleksi kaca mata bermerek yang lebih dari satu. Yang harganya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan harga kaca mata yang aku butuhkan. Itu bukan urusanku, toh mereka beli dengan uang mereka. Bukan urusanku untuk menghakimi mereka.
Aku melangkah ke kamar. Kamar yang aku tempati bersama ibu. Kamar yang hampir-hampir kosong. Hanya ada satu tikar tempat aku dan ibu untuk tidur ditambah dua bantal. Ditambah juga beberapa kardus yang tersususn rapi yang menjadi tempat menampung pakaian bersih kami berdua. Dan sebuah cermin tua yang selalu aku tatap untuk melihat bola mataku yang indah. Bola mata yang mungkin sebentar lagi akan buta.
Setiap kali aku memikirkan tentang itu aku menangis. Memikirkan bagaimana rasanya melihat semua disekelilingku menjadi hitam tanpa warna.  Bagai siang tak bermalam. Bagai malam gulita tanpa sinar sedikit pun.
“Tuhan, kalau Engkau tidak bisa mengubah keadaanku, ubahlah hatiku untuk menerima keadaan ini dengan ikhlas. Aku percaya rencana masa depan yang penuh harapan yang Engkau sediakan bagiku. Tuhan, maafkan aku kalau aku pernah mengeluh dengan  keadaan mataku ini. Aku bersyukur masih bisa melihat senyuman mama dengan jelas meski aku tidak bisa melihat huruf-huruf dengan jelas. AMIN.”
TAMAT

0 komentar: